Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang merambah hampir seluruh pelosok negeri, masih ada sebuah komunitas yang teguh menjaga warisan leluhur. Kampung Naga, yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, adalah salah satu contoh nyata. Desa adat ini terkenal karena konsistensinya dalam mempertahankan tatanan kehidupan tradisional, mulai dari arsitektur rumah, pola hidup, hingga adat istiadat yang diwariskan turun-temurun.
Kampung Naga berada di lereng bukit yang menghadap ke Sungai Ciwulan. Untuk mencapainya, pengunjung harus menuruni sekitar 400 anak tangga dari area parkir hingga tiba di permukiman utama. Perjalanan ini memberikan gambaran awal tentang keterpencilan kampung, sekaligus menjadi simbol “meninggalkan dunia modern” dan memasuki kehidupan yang lebih sederhana. Dari Kota Tasikmalaya, jaraknya sekitar 30 km atau sekitar 45 menit perjalanan darat, sedangkan dari Kota Garut hanya sekitar 26 km.
Kampung Naga memiliki sejarah yang masih diperdebatkan antara fakta dan legenda. Sebagian sumber menyebutkan bahwa nama “Naga” berasal dari kata Nagawir, yang berarti lereng curam, merujuk pada topografi daerah tersebut. Versi lain mengatakan bahwa “Naga” adalah simbol kekuatan dan penjaga, menggambarkan peran kampung ini sebagai benteng tradisi Sunda.
Masyarakat Kampung Naga meyakini leluhur mereka berasal dari seorang tokoh yang dikenal sebagai Eyang Singaparna. Situs makamnya berada di sekitar kampung dan menjadi pusat kegiatan ritual tertentu, terutama saat upacara adat.
Salah satu daya tarik utama Kampung Naga adalah arsitektur rumahnya yang khas. Semua rumah menghadap ke arah yang sama (utara–selatan) dan dibangun dari bahan-bahan alami:
Dinding: anyaman bambu (bilik).
Atap: daun ijuk atau alang-alang, berbentuk pelana.
Lantai: papan kayu atau bambu belah.
Tidak ada satu pun rumah yang menggunakan atap seng atau genteng tanah liat. Bentuk dan ukuran rumah diatur sesuai aturan adat, termasuk larangan membangun rumah bertingkat. Tata ruang kampung juga teratur: rumah-rumah berjajar rapi, di bagian tengah terdapat balai adat (bale patemon), dan di tepi kampung terdapat lumbung padi (leuit).
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Masyarakat Kampung Naga hidup dari bertani padi, berkebun, dan menganyam bambu. Padi yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan disimpan di leuit untuk persediaan.
Sistem ekonomi mereka tidak sepenuhnya bergantung pada uang; nilai gotong royong masih sangat kuat. Misalnya, saat musim panen, semua warga saling membantu tanpa imbalan uang, melainkan dengan prinsip saling membalas jasa di masa mendatang.
Warga Kampung Naga memegang teguh ajaran leluhur yang disebut pikukuh, yakni aturan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Beberapa aturan adat yang masih dijalankan antara lain:
Larangan menggunakan peralatan modern seperti traktor untuk mengolah sawah; semua dikerjakan secara manual.
Larangan menggunakan listrik di dalam kampung inti.
Larangan membangun rumah dengan material modern.
Larangan membangun rumah dengan material modern.
Kepercayaan masyarakat adalah campuran antara Islam dan tradisi Sunda. Meskipun mayoritas beragama Islam, mereka tetap menjalankan ritual adat seperti Hajat Sasih, upacara syukuran hasil panen yang digelar setiap bulan Muharram dan diiringi pembacaan doa serta pembagian makanan tradisional.

Selain larangan penggunaan teknologi, ada beberapa hal yang dianggap tabu
Mengubah tata letak rumah tanpa izin tetua adat.
Memotret di area sakral tanpa persetujuan.
Masuk ke hutan larangan, yang dianggap sebagai kawasan keramat dan tempat tinggal roh penjaga.
Masuk ke hutan larangan, yang dianggap sebagai kawasan keramat dan tempat tinggal roh penjaga.
Pelanggaran terhadap aturan adat dipercaya akan mendatangkan kesialan, tidak hanya bagi pelanggar tetapi juga seluruh kampung.
Kampung Naga memiliki filosofi hidup yang erat dengan alam. Mereka mempraktikkan konsep leuweung larangan (hutan larangan) sebagai bentuk konservasi alami. Kawasan hutan ini tidak boleh ditebang, karena diyakini menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sumber air. Sistem pertanian pun menerapkan rotasi tanam dan pupuk organik.

http://www.imagemouvement.com
Wisata Budaya dan Edukasi
Kampung Naga kini menjadi destinasi wisata budaya dan edukasi yang terkenal, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pengunjung dapat belajar tentang:
Teknik anyaman bambu dan pembuatan peralatan rumah tangga tradisional.
Proses menanam dan memanen padi secara manual.
Filosofi hidup yang selaras dengan alam.
Meski menerima wisatawan, masyarakat tetap membatasi akses agar adat istiadat tidak tergerus. Ada pemandu lokal yang ditunjuk khusus untuk mendampingi tamu.
Seiring meningkatnya kunjungan wisatawan, muncul tantangan untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian adat dan kebutuhan ekonomi. Beberapa warga mulai bekerja di luar kampung untuk menambah penghasilan, sementara generasi muda terpapar teknologi saat keluar kampung. Namun, tetua adat terus berupaya mengedukasi masyarakat agar nilai-nilai leluhur tetap terjaga.
Kampung Naga adalah simbol keteguhan hati dalam mempertahankan warisan budaya di tengah gempuran zaman. Keunikan tata ruang, kearifan lokal, dan nilai-nilai gotong royong menjadikannya bukan sekadar objek wisata, tetapi juga sumber inspirasi tentang bagaimana hidup sederhana, harmonis dengan alam, dan setia pada akar budaya.
Dengan terus mengedepankan prinsip pikukuh dan menjaga keseimbangan dengan perkembangan luar, Kampung Naga berpotensi menjadi model desa adat yang lestari, sekaligus bukti bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan identitas.
baca juga : Travel sejarah kota semarang
baca juga : Tukar Sampah Plastik dengan Tiket Bus Suroboyo
baca juga : Membiasakan Disiplin Buang Sampah pada Anak